STRUKTUR INSANE
(pengetahuan manusia terhadap
dirinya sendiri)
STRUKTUR INSAN terdiri dari alam
fisik (inderawi) dan alam-alam atas (alamul
a’laa), termasuk alam malaikat :
“Sesungguhnya
Allah menciptakan Adam menurut rupa-Nya” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Manusia itu adalah hewan yang mampu
berpikir (hayyawan nathiq)., maksudnya berjasmani seperti hewan, tapi
juga mampu mencerap pengetahuan tentang Allah SWT sebagaimana malaikat.
Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya tambahan unsur jiwa (an-nafs)
yang membuat manusia mampu berpikir dan mewujudkan apa yang dipikirkannya (nathiq),
baik dalam bentuk perkataan hingga perbuatan, sehingga bila saja binatang
diberi jiwa (an-nafs) sebagaimana yang diberikan kepada manusia, tentu
ia akan sanggup berpikir dan akhirnya mukallafah.
Struktur makhluq yang seperti ini oleh
Imam Al-Ghazali ra dibagi dalam tiga aspek: Jiwa (an-nafs), Ruh
dan Jasmani (jism).
Jasmani
manusia terbentuk dari berbagai komponen dan unsur yang sanggup ‘membawa’ dan
mempertahankan ruh dan nafsnya, yang kemudian menjadi suatu tubuh
berpostur yang memiliki wajah, dua tangan dan kaki, serta bisa tertawa.
Unsur-unsur jasmani tersebut adalah unsur yang sama dengan unsur makrokosmos
yaitu air, udara, api dan tanah. Hal ini terlihat dari proses penciptaan
jasmani Nabi Adam as yang dilukiskan melalui tahapan ath-thiin dan shalshal
di mana kedua jenis tanah liat tersebut merupakan hasil dari perubahan empat
unsur tanah, air, udara dan api.
Bagi anak-cucu Nabi Adam as, proses
tersebut tidak transparan lagi karena jasmani bani adam terbentuk dalam rahim
ibu melalui fase-fase nuthfah, ‘alaqah dan mudhghah. Meski
begitu secara hakiki jasmani bani adam tetap berasal dari 4 unsur tersebut dan
akan kembali ke bentuk unsur dasar itu.
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan insan dari suatu saripati (berasal) dari tanah (thiin). Kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim).Kemudian air mani itu Kami ciptakan jadi segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami ciptakan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami ciptakan
menjadi tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk (berbentuk) lain. Maha Memberkahi Allah,
Sebaik-baiknya Maha Pencipta. (Al-Mu’minun [23]: 12-14)”
RUH
Kemudian adanya ruh membuat
manusia mirip dengan hewan karena ruh yang dimaksud di sini adalah ruh yang
juga dimiliki oleh hewan, yaitu ruh hewani. Dalam Al-Qur’an dikenal dengan
istilah nafakh ruh. Ruh hewani ini adalah sesuatu yang bertempat,
sehingga eksistensinya bisa dideteksi oleh ilmu kedokteran. Ia berjalan
(mengalir) di seluruh anggota tubuh, pembuluh darah , urat nadi dan syaraf.
Kehadirannya di suatu anggota tubuh, membuat bagian tubuh tersebut menjadi
hidup. Apakah itu berwujud gerakan, sentuhan, menatap, mendengar, dan
sebagainya. Ibaratnya seperti pelita yang beredar menelusuri suatu tempat yang
penuh dengan lorong-lorong; tempat tersebut adalah ibarat tubuh. Bagian-bagian
tubuh yang diibaratkan dengan lorong-lorong akan hidup ketika cahaya pelita
menerangi lorong tersebut.Cahaya pelita itulah ibarat dari ruh hewani yang
mengalir dan beredar di seluruh tubuh. Ruh tersebut tidak memberi petunjuk pada
pengetahuan. Ia tak lebih daripada perangkat unik yang bisa mematikan badan, di
mana misi Rasulullah Saw bukan ditujukan pada ruh tersebut. Ruh inipun bukanlah
Ruh Amr yang dimaksud di Al-Israa’ [17]: 85 (pembahasan tentang Ruh
Amr ini akan diuraikan di bagian Hubungan Jiwa dengan Ruh).
Dan mereka bertanya kepadamu
tentang Ar-Ruh. Katakanlah: Ar-Ruh itu
berasal dari Amr Rabbku, dan
tidaklah engkau diberi pengetahuan tentang itu melainkan sedikit.
(Al-Israa’ [17]: 85)
NAFS
manusia juga memiliki jiwa (an-nafs)
yang merupakan jauhar, yaitu yang berdiri sendiri, tidak berada di tempat
manapun dan juga tidak bertempat pada apapun. Jiwa adalah alam sederhana yang
tidak terformulasi dari berbagai unsur (materi) sehingga tidak mengalami
kehancuran sebagaimana benda materi. Karena itu, kematian bagi manusia
sesungguhnya hanyalah kematian tubuh dimana yang hancur dan terurai kembali ke
asalnya adalah tubuh, sedangkan jiwa tidak akan hilang dan tetap eksis,
sebagaimana firman Allah di Ali ‘Imran [3]: 169.
Janganlah engkau sekali-kali mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di
jalan Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. (Ali ‘Imran [3]: 169)
Jiwa (an-nafs)merupakan esensi
yang sempurna dan tunggal yang tidak muncul selain dengan cara mengingat,
menghapal, berpikir, membedakan dan mempertimbangkan sehingga dikatakan bahwa
ia menerima seluruh ilmu. Ia mengetahui masalah-masalah yang rasional maupun
yang ghaib. Dialah yang sanggup memahami, berpikir dan merespon segala yang
ada; bukan tubuh maupun otak yang sebenarnya hanyalah sebentuk materi. Bahkan Imam
Al-Ghazali ra mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya adalah suatu kondisi
yang ada pada jiwa. Adanya ilmu menggambarkan jiwa yang berpikir tenang (an-nafs
an-nathiqah al-muthmainnah) tentang hakikat segala sesuatu, artinya adanya
pengetahuan tentang al-haq itu merepresentasikan tentang jiwa. Ini
dikarenakan jiwa di dalam tubuh akan berusaha mencari kesempurnaan, agar ia
sanggup mengikuti derajat malaikat yang dekat dengan Allah (muqarrabun), di
mana Allah adalah sumber segala pengetahuan juga merupakan obyek ilmu yang
paling utama, paling tinggi, dan paling mulia.